Kamis, 21 Februari 2008

Langkah Wong Ndeso yang Jago Catwalk



Senin, 10-Desember-2007 13:03:36
Oleh : Rahmi

Judul Buku : 45
Penulis : Ratih sang
Penerbit : Hikmah (PT Mizan Publika)
Tebal : 220 halaman
Rating :

Angka 45 mempunyai makna tersendiri buat Ratih Sanggarwati atau yang akrab disapa Ratih Sang. Pada 8 Desember 2007 saat usianya genap menginjak 45 tahun, ia meluncurkan buku kesebelasnya. Meninggalkan dunia catwalk kemudian tampil spiritual dengan berkerudung, ternyata tak menghalanginya terus berkarya. Ratih pun senantiasa aktif dan produktif menulis puisi sekaligus membacakannya di hadapan publik.

Jika sebelumnya ia menelurkan buku kumpulan puisi, seperti 'Jika Ibu Boleh memilih', 'Kerudungmu Tak sekedar cantik', dan lainnya. Tapi buku '45' merupakan highlight jejak langkah Ratih Sang dalam perspektif 45 orang sahabatnya. Mereka terdiri atas para sastrawan, komisaris, pemimpin redaksi, guru, disainer, budayawan, politisi, organisator hingga menteri dan lainnya.

Berbagai kisah dan jejak langkah Wong Ndeso yang Jago Show tersaji didalamnya, mulai dari pemotretan di bawah suhu nol derajat di Cina, SMS untuk Gus Mus (KH Mustofa Bisri) yang membuat Ratih selalu merasa bersalah, rok kulit yang terlepas saat di New York bersama Chossy Latu, honor sekilo kelengkeng bersama Danarto, peragaan busana ala Phantom of the Opera bersama Sebastian Gunawan, hingga komentar-komentar saat ia memutuskan berjilbab dan meninggalkan catwalk.

"Buku ini menunjukkan betapa berartinya seorang sahabat, saya tidak akan menjadi Ratih seperti yang sekarang ini tanpa beliau-beliau," tutur mantan model kenamaan era 80-an ini.

Gaya bahasanya sederhana, bersifat naratif sehingga mudah disimak. Buku ini juga berisi petikan kesaksian yang diberi komentar balik oleh Ratih Sang, rentetan kisahnya pun enak untuk diikuti.

Dalam penulisannya Ratih melibatkan Taufiq MR, Halim Ambiya, Sofyan Badrie, Sri Purwandhari, Telni Rusmitantri, Amalia Sudewi, dan Melati Adidamayanti selaku tim redaksi, juga Abdul Wasiq selaku editor. (ace)

Selasa, 19 Februari 2008

komentar

komentar:


Teman-teman,Untuk mengenang kebesaran dan keharuman nama Romo Y.B. Mangunwijaya yang telah tiada. Semoga hal ini bisa menjadi bahan renungan kita semua bahwa kita tidak perlu berusaha untuk menjadi orang seperti yang kita kehendaki karena yang terpenting dari semua itu adalah kehadiran kita mempunyai arti buat orang lain tanpa kita sadari. Hal inilah yang jauh lebih berharga dari semua ambisi duniawi.


salam
Diah


----------


From: Amwazi Idrus[SMTP:[EMAIL PROTECTED]]Sent:
12 Februari 1999 3:06
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [dtktd] Fw: [itb75] Romo Y.B. Mangunwijaya...tiada

Ada tulisan bagus tentang Romo Mangun. DIkirim oleh Moko (Wisconsin), tak forward kemilis kita.

Mudah-mudahan bermanfaat.

Salam,
Aam

--------------------------------------


In Memoriam: Romo Mangun (1929-1999)

"Death is that state in which one exists only in the memory of others,
...which is why it is not an end. No goodbyes, just good memories."
--Lt. Tasha Yar in "Skin Of Evil" (Stardate 41601.3)


Manusia, sebagai anggota dari 'human race', masih terbatasi oleh kodratnya sebagai mahkluk yang mortal. Tetapi manusia lebih dari sekedar sebuah evolusi biologis belaka. Manusia adalah totalitas dari wadag biologisnya ditambah semua perbuatan yang dilakukan sepanjang hidupnya. Sesudah wadag biologis berhenti hidup, apa yang telah dilakukan manusia masih berpengaruh pada orang lain yang ditinggalkannya. Pengaruh inilah yang akan terus hidup dalam ingatan orang, inilah yang membuat manusia menjadi immortal: hidup terus dalam ingatan orang lain. Saya ingin mengajak teman-teman membaca kembali "pengaruh" Romo Mangun pada orang lain, supaya tetap hidup dalam ingatan kita. Tulisan Sofyan Badrie, yang ditulis pada ulang tahun Romo mangun yang terakhir (tahun lalu), adalah salah satu "pengaruh" yang memberi pengharapan --that we, as a nation or people, may have asecond chance-- dan sangat relevan untuk direnungi saat ini. Not just yet, Romo ... it is not an end.No goodbyes, just good memories.

Moko



Kompas -- 7 Mei 1998

Religiositas dan Implementasinya dalam Kehidupan
* Menguak Pemikiran Romo Mangun

Oleh Sofyan Badrie *)

SOSOK Y B Mangunwijaya adalah pribadi penuh ketangguhan dan kegigihan. Ketangguhan dan kegigihannya diwujudkan dalam membela harkat dan martabat manusia. Terutama rakyat kecil-miskin yang terpinggirkan. Seandainya Indonesia memiliki 100 orang seperti Mangunwijaya, barangkali iklim dan suasana bangsa kita lebih semarak. Paling tidak, makin banyak saksi dan pelaku sejarah pembela kemanusiaan di tengah hiruk-pikuknya individualisme.

Bertemu dengan Romo Mangun, yang lahir tanggal 6 Mei 1929 di Ambarawa, Magelang, Jawa Tengah, laksana bertemu dengan esensi dan hakikat. Karya-karyanya merefleksikan hakikat manusia, baik di bidang sosial, politik, agama dan budaya. Ungkapan dan kata-katanya membawa pada kesadaran akan citra dan hakikat kemanusiaan sendiri.

Perjuangannya terhadap kemanusiaan direalisasikan lewat pengabdian pada sesama. Misalnya, perbaikan rumah dan tempat tinggal kaum tersisih yang berada di pinggir Sungai Code, Yogyakarta, beberapa tahun silam. Walaupun ia seorang pastor Katolik, namun pengabdiannya pada sesama tidak terbelenggu konvensi primordialistik keagamaan.

Sepak terjang Romo Mangun tidak terbatas hanya perbaikan fisik kaum papa, namun juga menyangkut aspek vital yaitu empowering pemberdayaan sumber daya manusia. Berbagai macam buku sebagai penunjang pemberdayaan juga disediakan, sehingga "menggeluti" bahan pustaka menjadi tradisi sekaligus bagian dari hidup mereka.

Keinginannya tinggal bersama kaum miskin itu karena ia tahu pasti bahwa sesuatu yang ingin dimiliki kaum miskin adalah harga diri. Kaum itu memerlukan orang yang bisa diajak berbincang dan berbagi rasa. Untuk keperluan itulah Romo Mangun meninggalkan pastoran dan memilih hidup bersama mereka.

***

NAPAK tilas Romo Mangun ini menarik untuk dikaji. Mengapa pribadi Mangun bisa mendekonstruksi belenggu konvensi primordialistik keagamaan, sehingga dapat menolong dan memberikan cinta kasih kepada siapa saja yang tertindas sisi kemanusiaannya? Padahal manusia modern penuh pamrih berbagai kepentingan.

Barangkali, inilah yang menyebabkan mengapa bila bertemu Romo Mangun adalah bersua dengan esensi dan hakikat. Yang selalu mengedepankan hati nurani sebagai hakikat dan citra kemanusiaan sejati. Terlebih lagi pandangannya tentang religiositas - kata kunci gagasan Mangun -dalam beberapa hal "mengatasi" segala sekat-sekat agama secara formal.
Religiositas. Kata ini mempunyai makna khusus bagi Romo Mangun.

Sebenarnya apa makna dan signifikansi religiositas itu? Apakah agama -secara formal - kemudian menjadi tidak penting lagi? Lalu, apa relevansi religiositas bagi manusia modern?

Tulisan ini mencoba mengelaborasi persoalan-persoalan itu. Religiositas, menurut Romo Mangun, adalah sesuatu yang lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati," riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, ducoer dalam arti Pascal, yakni cita-rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia.

Karenanya, pada dasarnya religiositas "mengatasi"atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang cirinya lebih intim. (Sastra dan Religiositas, Kanisius Yogyakarta1988). Dalam pengamatan Romo Mangun, realitas, praksis kehidupan, terdapat tidak sedikit orang menganut secara formal agama tertentu namun praktek kehidupannya ternyata tidak mencerminkan sikap dan perilaku orang beragama.

Boleh jadi, motivasi keberagamaannya karena jaminan materi, karier politik, ingin memperoleh jodoh maupun kedudukan atau jabatan. Sehingga tidak dapat disangkal bila koruptor-koruptor besar-kecil, lintah darat, penindas, penipu, orang cabul adalah juga orang beragama.

Lalu, apa fungsi dan peran agama bila tidak mampu menciptakan manusia yang berperikemanusiaan? Ada pula orang yang secara formal ia ateis atau tidak menganut agama apa pun namun pada praksis perilaku, sikap dan usahanya sangat berperikemanusiaan. Ia suka menolong orang, rendah hati, toleran, berlaku bijak dan rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan umum.

Apakah orang semacam ini dikategorikan jahat walaupun tidak menganut agama? tanya Mangun. Oleh karenanya, menurut Mangun, religiositas pada kodratnya inklusif. Sedang agama adalah eksklusif. Religiositas (iman dan takwa) mempersatukan, karena ia adalah sikap dasar yang menjiwai setiap orang walaupun berbeda agama. Maka yang terpenting adalah bukan to have religion tetapi being religius. Inilah yang harus dihargai dan diusahakan serta didialogkan.

***

DEWASA ini ada kecenderungan menggunakan pengertian agama sebagai slogan-slogan kemasyarakatan. Hal tersebut mereduksi makna dan mempersempit pengertian agama. Bahkan bisa menyimpang dari misi agama semula. Karenanya, Romo Mangun melihat agama praktis-historis bersifat eksklusif karena beroperasi dalam kerangka kolektivitas, institusi, sosiologis, politis-ekonomis, organisasi, tradisi, adat, konvensi, peraturan dan lain sebagainya.

Agama yang demikian cenderung digunakan untuk membela kepentingan setiap lembaga itu. Bila demikian, apakah kemudian agama menjadi tidak penting? MenurutMangun, agama tetap penting, tetapi agama sebagai sebuah pelembagaan iman sebenarnya hanya penangkapan relatif manusia terhadap wahyuTuhan. Wahyu memang mutlak, tetapi penangkapan manusia terhadapnya agama) adalah nisbi.

Karena itu, fungsi religiositas (iman dan takwa) "mengatasi" agama. Orang boleh menganut agama apa pun secara formal. Namun mereka mempunyai religiositas yang sama, yang sifatnya mempersatukan. Pada aspek ini, titik temu agama-agama dapat dilahirkan. Sementara dialog adalah mediator yang menyatukan visi dan misi agama dalam menghadapi tantangan global abad ke-21. Empat persoalan penting dunia sekarang dan masa depan adalah menjamin dan memekarkan keadilan sosial,nilai-nilai moral, kemerdekaan manusia dan perdamaian.

***
DENGAN demikian, menurut Mangun, mempersoalkan agama apa yang dianut oleh seseorang menjadi tidak relevan. Yang utama adalah apakah seseorang pro-Kerajaan Allah ataukah anti-Kerajaan Allah. Hal ini berlaku bagi semua umat beragama. Harapan idealnya, adalah orang yang beragama harus religius sekaligus pro-Kerajaan Allah.

Agama bertugas menjaga agar kehidupan masyarakat manusia teratur dan pemujaan Allah secara bersama tidak simpang-siur atau menyeleweng. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hukum, dalam ajaran, khotbah dan manifestasi publik serta tata-pementasan. Sementara kualitas juga diperhatikan, namun hanya mungkin sepanjang masih dapat dilihat, diukur dan dinilai dari luar. Karena itu nilai-nilai agama harus ditransformasikan.

Agama dalam masalah-masalah prinsipiil, katakanlah kalau boleh mengambil kiasan ilmu pengetahuan, adalah ilmu pengetahuan dasar, bukan ilmu terapan. Agama hanya hidup dan punya arti kalau ada dalam situasi, applied dalam situasi. Sebab kalau tidak, agama hanya merupakan prinsip-prinsip yang mengambang di udara, tidak ada nilai-nilai praktisnya.
Agama harus praktis, karena agama memang bertugas mengintegrasikan manusia, supaya tidak ambrol dari dalam.

Agama - diakui Romo Mangun - walaupun mempunyai fungsi praktis tetapi bukan segala-galanya. Agama terbatas. Agama pada dasarnya lebih pada inti kehidupan yang mengolah the last thing, yang paling final.Tetapi, kehidupan manusia tidak hanya pada yang final, ada persoalan-persoalan kontemporer sifatnya, sedangkan hal-hal yang paling final tidak bisa diterapkan pada semua wilayah kehidupan, tetapi tidak langsung.

Melalui agama - religiositas -, menurut Mangun, manusia seharusnya sejak dahulu harus berubah total dari manusia lama menjadi manusiabaru yang berkualitas dalam berbagai dimensi. Perubahan itu dari manusia lama yang berdosa, buruk, yang serba curiga, serba membunuh, benci-dendam, serba menindas orang lain, menjadi manusia baru yang penuh cinta-kasih, penuh harapan, penuh kepercayaan, suka menolong,berkorban, kecil pamrih, toleransi dan dilandasi semangat religius.

Demikian satu sisi pokok pemikiran Romo Mangun, yang intinya ingin memadukan dunia transenden dengan dunia nyata. Sehingga agama dunia transenden - dapat membumi dan memanusiakan manusia sekaligus membangun manusia baru. Dan, selamat ulang tahun serta panjang umur, Romo. Salam.

*) Sofyan Badrie, mantan redaktur majalah Institut IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, kini staf pada Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta.